Beranda | Artikel
Perjalanan Menuntut Ilmu Syari (2)
Senin, 6 April 2015

Teladan para Salaf dalam Melakukan Perjalanan Menuntut Ilmu

Renungkanlah beberapa kisah berikut ini, kemudian bandingkanlah dengan keadaan diri kita sekarang ini. Niscaya akan kita dapatkan perbedaan yang sangat jauh.

Sa’id bin Musayyib rahimahullah berkata,”Aku terbiasa bepergian selama berhari-hari demi mencari satu hadits.[1]

Abul ‘Aliyah rahimahullah berkata,”Kami mendengar suatu hadits dari shahabat Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam. Kami tinggal di Bashrah (daerah di Irak, pent). Tidaklah kami ridha sehingga kami bepergian ke Madinah dan mendengar hadits itu langsung dari mereka.[2]

Imam Muhammad bin Ishaq bin Mandah rahimahullah bepergian demi tholabul ‘ilmi ketika berumur 20 tahun. Beliau kembali ke negerinya ketika berumur 65 tahun. Sehingga beliau bepergian selama 45 tahun. Beliau kembali ke daerah asalnya ketika beliau sudah tua. Kemudian beliau menikah dan dikaruniai beberapa orang putra. Beliau banyak mengajarkan hadits. [3]

Masruq bin Ajda’ rahimahullah berkata,”Aku mengelilingi dunia seluruhnya demi mencari ilmu. [4]

AlHafidz Abul ‘Ala AlHamdani rahimahullah berjalan 30 farsakh dalam satu hari (kurang lebih 150 kilometer). Beliau berulang kali bepergian menuju Baghdad dan Ashbahan dengan berjalan kaki dan memikul kitab-kitabnya di punggungnya. [5]

Yang menakjubkan bukanlah semata-mata karena lama perjalanannya dan keterasingan mereka demi menuntut ilmu. Akan tetapi, yang lebih menakjubkan lagi adalah bahwa perjalanan itu seluruhnya ditempuh dengan berjalan kaki. Sebagaimana yang diceritakan oleh Baqi’ rahimahullah, ”Setiap orang yang ingin aku temui, maka aku lakukan dengan berjalan kaki. Dan setiap orang yang aku ingin belajar darinya, maka aku lakukan dengan berjalan kaki. [6]

Inilah perjuangan mereka, sampai-sampai mereka menanggung berbagai penderitaan ketika berjalan demi menuntut ilmu. Karena memang pohon ilmu syar’i yang penuh berkah ini tidaklah tumbuh dan berbuah kecuali jika diairi dengan air kesungguhan dan pengorbanan demi meraih ilmu.

Ibnu Khalkan berkata dalam biografi seorang ahli tafsir yang masyhur, Mahmud bin ‘Umar Az-Zamakhsari AlKhawarizmi rahimahullah, “Salah satu kaki Az-Zamakhsari diamputasi. Beliau berjalan dengan kaki palsu terbuat dari kayu. Sebab diamputasinya kaki beliau adalah ketika di sebagian safar beliau untuk menuntut ilmu ke negeri Khawarizmi, turun salju lebat dan udara sangat dingin. Beliau terjatuh karena karena udara yang sangat dingin. Bersama beliau ada seorang saksi bahwa kakinya diamputasi karena sebab ini. Supaya tidak ada persangkaan bahwa sebabnya adalah kejahatan yang menimpanya. Salju dan udara yang sangat dingin di negara itu sering membuat orang terjatuh. Orang yang tidak mengetahuinya tidak bisa menghindarinya.[7]

Khuzaimah bin Ali berkata,“Jari tangan Umar bin Abdul Karim Ar-Rawwaasi rahimahullah harus diamputasi di perjalanan menuntut ilmu karena udara yang sangat dingin. [8]

Melihat teladan para salaf di atas, kita harus mempunyai semangat dan motivasi yang tinggi untuk bepergian demi mencari ilmu. Seorang thalibul ‘ilmi hendaklah memiliki cita-cita yang tinggi di dalam menuntut ilmu. Cita-cita itu harus kita arahkan pada idealisme tertinggi demi meraih ilmu. Inilah salah satu adab yang harus dimiliki oleh seorang thalibul ‘ilmi dalam kehidupan ilmiahnya. Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaid rahimahullah berkata,”Di antara akhlak Islam adalah berhias diri dengan cita-cita tinggi, yang menjadi titik sentral dalam dirimu baik untuk maju ataupun mundur, juga yang mengawasi gerak-gerik badanmu. Cita-cita yang tinggi bisa mendatangkan kebaikan yang tidak terputus dengan izin Allah, agar Engkau bisa mencapai derajat yang sempurna. Sehingga cita-cita itu akan mengalirkan darah kesatriaan dalam urat nadimu dan mengayunkan langkah untuk menjalani dunia ilmu dan amal.[9]

Oleh karena itu, janganlah cepat merasa puas dengan apa yang telah kita raih dari ilmu yang telah kita dapatkan di sekeliling kita saat ini. Jangan pernah merasa ragu untuk mendatangi suatu daerah atau suatu negeri, jika kita bisa mendapatkan lebih banyak ilmu melebihi dari apa yang telah kita raih saat ini. Tentunya hal ini disesuaikan dengan kondisi kita masing-masing. Jika di sana terdapat suatu daerah atau negeri yang merupakan gudangnya ilmu dan ulama, maka hendaknya kita bersemangat mendatanginya. Mengerahkan seluruh daya dan kemampuan yang ada pada diri kita dengan segala keterbatasan kita sebagai seorang manusia biasa. Apalagi jika negeri tersebut memiliki banyak keutamaan yang tidak dimiliki oleh negeri yang lainnya. Sungguh, kita akan mendapatkan keutamaan di atas keutamaan. [Selesai]

***

Selesai disusun di pagi hari, Masjid Nasuha Rotterdam NL, 14 Jumadil Akhir 1436

Yang senantiasa membutuhkan rahmat dan ampunan Rabb-nya,

Penulis: M. Saifudin Hakim

Catatan kaki:

[1] Al-Bidaayah wan Nihaayah, 9/100. Dikutip dari Kaifa Tatahammasu li Thalabil ‘Ilmi Syar’i, hal. 225.

[2] AlKifaayah fii ‘Ilmi Riwaayah, karya Imam Al-Baghdadi rahimahullah. Dikutip dari Kaifa Tatahammasu li Thalabil ‘Ilmi Syar’i, hal. 225.

[3] Tadzkiratul Khuffaadz 3/1032, karya Imam Adz-Dzahabi rahimahullah. Dikutip dari Kaifa Tatahammasu li Thalabil ‘Ilmi Syar’i, hal. 225.

[4] Tadzkiratul Khuffaadz, 1/108. Dikutip dari Kaifa Tatahammasu li Thalabil ‘Ilmi Syar’i, hal. 226.

[5] Thabaqat AlHanabilah 1/326, karya Ibnu Abi Ya’la rahimahullah. Dikutip dari Kaifa Tatahammasu li Thalabil ‘Ilmi Syar’i, hal. 226.

[6] Tadzkiratul Khuffaadz, 2/630. Dikutip dari Kaifa Tatahammasu li Thalabil ‘Ilmi Syar’i, hal. 228.

[7] Diringkas dari Wafiyaatul A’yaan 2/82, karya Ibnu Khalkan rahimahullah.

[8] Tadzkiratul Khuffaadz, 4/1237.

[9] Hilyah Thaalibil ‘Ilmi.

🔍 Hukum Orang Kristen Masuk Masjid, Hadits Rasulullah Tentang Ibu, Apakah Sholat Subuh Bisa Diqodho, Pesantren Kilat Desember 2018, Gambar2 Tentang Islam


Artikel asli: https://muslim.or.id/25175-perjalanan-menuntut-ilmu-syari-2.html